Find The INCREDIBLE side, behind this INCREDIBLE world, because you’re INCREDIBLE one

Kamis, 31 Mei 2012

Naskah drama Petualangan

Dengan bangga saya melampirkan Tugas Akhir bahasa Indonesia saya : MEMBUAT NASKAH DRAMA


Big Thanks To...

1.       Allah SWT. Terima kasih Ya Allah, mengizinkan ide ini melintas di otakku. Ya Allah, nggak mungkin aku bisa bikin naskah ini kalau bukan karna kasih sayang-Mu.
2.       Ibu Eny Wahyuni. Coba nggak ada Bu Eny, pasti aku nggak bakal pernah mencoba buat bikin naskah drama. Dengan tugas ini, jadi tau kalau ternyata menulis naskah drama jauh lebih sulit daripada menulis cerpen.
3.       Kedua orang tuaku. Ya meskipun orang tuaku nggak tau aku habis bersusah payah menulis naskah drama, tapi pasti mereka mendoakan aku dari jauh sana sehingga Allah SWT mengirimkan ide ini padaku.
4.       Kepada penulis novel- novel yang pernah kubaca. Semua ide ini sedikit banyak juga terinspirasi oleh novel-novel yang saya baca. Maaf, tidak mungkin disebutkan satu-satu.
5.       Anisa Mufidah. Terima kasih sudah menawarkan nge-print in naskah ini; Auliya Sofiyah, yang benerin format naskah ini; Septia Devi dan Ichsana Fitria yang sudah meminjamkan charger laptop; M.Fadil yang berhasil menghilangkan kejenuhan saat menulis dengan guyonan nggak pentingnya dan yang telah menuliskan namaku di ‘thanks to’ nya.
6.       Sekali lagi, Big thanks to Anisa Mufida, dan Arum atas pembuatan judul. Terutama M.Fadil yang ngasih inspirasi judul pas dia marah “Ssst.. Rame ae!”. Hingga akhirnya aku kepikiran judul “Sst.. ada penjahat!”.
7.       M.Rizqi Ali Asyrofi yang tidak melakukan apa-apa dan tidak perlu melakukan apa-apa.
8.       All of AAL member. Kelas yang keren banget. Kalian yang bikin kelas jadi kondusif buat ngerjain naskah ini. makasi ya, AAL. Best Class ever!



Sinopsis Ssst... Ada Penjahat!
Orang tua Daniel mengundang teman-teman Daniel untuk ikut berlibur ke villa mereka di pedalaman Pontianak. Tentu saja itu merupakan kabar baik bagi Sarah, Abdul dan Umar. Villa itu memang sangat mewah, tapi letaknya jauh dari peradaban. Di sekitar villa hanya ada berpetak-petak sawah, ladang bunga matahari dan jalan sempit memanjang tak beraspal. Untuk menuju rumah penduduk saja, mereka harus menempuh jarak 5km.
Suatu sore saat Daniel, abdul, umar, sarah dan Adik kecil Daniel tengah bermain di ladang bunga matahari. Mereka melihat burung-burung berbulu cantik keluar dari menara sebuah bangunan tua didekat ladang. Menurut Daniel, bangunan itu tak bertuan dan anker. Itu sebabnya, orang tuanya melarang mereka bermain disekitar sana. Namun, begitulah jiwa anak seumuran mereka, semakin dilarang maka semakin ingin tau pula mereka. Dengan diam-diam, mereka masuk ke dalam bangunan tersebut.
Namun ternyata rasa keingintahuan mereka membawa malapetaka. Mereka tersesat didalam bangunan. Mereka tak bisa menemukan jalan keluar karena bangunan itu terlalu besar dan gelap. Sampai Sarah menemukan sebuah ruang rahasia di bawah tanah. Dalam ruang itu terdapat sebuah mesin pencetak dan almari besar yang ternyata penuh uang. Ternyata ruangan itu digunakan untuk melakukan kejahatan berupa mencetak uang palsu.
Saat mereka menyadari bahwa mereka telah terlibat kasus yang berbahaya, dua lelaki berkumis dengan pistol di saku mereka itu masuk ke dalam bangunan. Merekalah pelaku kasus kejahatan ini. suasana semakin genting ketika dua pria itu menyadari ada orang lain dalam bangunan itu yang pasti akan mengganggu pekerjaan mereka. Dua pria itu mengunci semua pintu. Daniel Cs tau, apa yang akan dua pria itu lakukan bila menemukan mereka. Tapi Daniel Cs tak tau, bagaimana caranya 5 siswa SD melawan penjahat yang akan membunuh mereka di sebuah bangunan tua.


Dan untuk naskahnya, Ini dia....
Ssst.. Ada Penjahat!
Scene 1 : Halaman Sekolah
Suatu siang yang terik di salah satu SD di pedalaman Aceh, beberapa anak terlihat tengah menunggu di halaman sekolah mereka yang sederhana. Hari ini adalah hari penerimaan rapor tahunan dan pengumuman kenaikan kelas.
Umar        : Woi, kenapa dari tadi kau melamun terus. Asal kau tau, tak baik melamun itu. (menepuk punggung Sarah)
Sarah        : Hash, banyak cakap kau ini. Aku bukannya melamun. Resah hatiku memikirkan apa kata mamak melihat nilai rapotku. (menggaruk kepala yang tidak gatal)
Abdul       : Pastilah sekarang mamak kau tengah berbicara dengan Ibu Sulastri soal nilai jelekmu. Pastilah kau tak boleh main sepanjang liburan ini. Hidup kau hanya di kebun membantu mamak kau mencari kayu bakar. (sinis)
Sarah        : (berdiri) Kau pikir cuma aku yang hendak kena marah? Kau juga Abdul. Kau lupa dengan nilai matematikamu?
Abdul       : Berani kali kau membahas nilai itu!
Daniel      : ribut kali kalian nih. (tiba-tiba duduk disebelah Sarah)
Sarah        : Daniel, darimana saja kau?
Daniel      : Barusan Bu Sulastri memanggilku dan mamaku.
Abdul       : Kau pasti kena marah kan? (tersenyum puas)
Umar        : mana mungkin lah Daniel kena marah. Dia kan pandai. Pastilah dia baru saja menerima piala. Lihat itu! Mamak Daniel bawa piala. (sambil menunjuk Ibu Daniel yang tengah mengobrol dengan wali murid lainnya)
Sarah        : Kau dapat ranking satu, Daniel?
Daniel      : Iya (mengangguk)
Umar        : Selamat, Dan! Kau memang pandai sangat. Tak pernah sebelumnya ada yang mendapat nilai sempurna hampir di semua pelajaran. (menjabat tangan Daniel)
Abdul       : Tentu saja, dia kan anak gedongan. Hidupnya dulu di Jakarta. Mana pula kita bisa bersaing dengannya? (menarik nafas) Bukan karna dia pandai, Mar! Tapi karna dia datang dari kota.
Umar        : Tak bolehlah kau berkata macam itu. Kacau kali cakapmu pagi ini.
Sarah        : Hah, memang benar. Mana bisa kita bersaing dengan kau, Dan! Kita menghitung pakai batang lidi, kau pakai kalkulator. Mesin ketik saja kita tak tau, kau malah memakai benda apa itu namanya. Kompu? Kompu apa?
Daniel      : Komputer, Sarah. (terkikik)
Abdul       : Lihat saja, kau barusan menertawakan Sarah, bukan? Keterlaluan kau ini, Dan. Orang kota memang selalu tak punya hati. Cakap seenaknya saja. (menggebu-gebu)
Umar        : Sudahlah, kawan. Soal Daniel datang dari jakarta atau bukan, dia memang tetap anak pandai.
Abdul       : Aih, masih berani kau memujinya? (mencengkram lengan Umar)
(tiba-tiba Ibu Daniel datang)
Ibu Daniel : (tersenyum lebar) Selamat pagi. Apa yang sedang kalian bicarakan, anak-anak?
(Abdul, Sarah dan Umar serentak menjawab seakan-akan tak pernah terjadi perdebatan)
Umar        : Selamat ya mak cik, Daniel berhasil mendapatkan piala itu.
Ibu Daniel : Ah, ini Cuma kebetulan. Seharusnya kamu yang dapat. (sambil mengelus kepala Umar)
Abdul       : Sok baik. (berbisik pada Sarah)
Ibu Daniel : (menoleh ke arah Daniel) Daniel, kesini sebentar sayang.
Abdul       : Aih, macam mana pakai panggil sayang segala. Macam artis masyhur saja. (berbisik lagi)
Ibu Daniel : Mama dulu sempat kecewa saat kamu nggak mau pindah kesini. Mama minta maaf telah memaksamu pindah. Tapi sekarang Mama bangga padamu. Meskipun kamu keberatan untuk pindah, tapi kamu tetap rajin belajar. Jadi, sebagai hadiah untuk anak mama yang pandai ini. kamu boleh liburan ke Jakarta.
Daniel      : (mengerutkan dahi)  Nggak ah, Ma. Daniel disini saja. Daniel pengen main sama Umar, Abdul dan Sarah aja.
Ibu Daniel : (memicingkan mata) Kata siapa kalau kamu ke Jakarta, kamu tidak bisa bermain dengan mereka. Kamu kan bisa ajak mereka kesana.
Daniel      : Mama yakin? (terkejut)
Ibu Daniel: Apa mama terlihat seperti sedang bercanda?
Daniel      : Enggak. Jadi beneran, ma? (antusias)
 (Ibu Daniel mengangguk. Daniel menoleh ke arah teman-temannya)
Daniel      : Gimana? Mau ikut kan? Nanti kita akan ke Bandung. Disana kita menginap di villa. Kalian pasti senang.
Sarah        : Bandung? Dimana pula Bandung itu? (menggaruk kepala)
Daniel      : Emm, bisa dibilang tetangganya Jakarta.
Sarah        : Berarti kita harus naik kapal feri kesana? (antusias)
Daniel      : Naik pesawat saja ya. Biar nggak lama.
Sarah        : (mulut menganga beberapa detik) Kau becanda, Daniel? Naik kapal Feri saja setahun sekali, macam mana kita bisa naik pesawat?
Daniel      : Sudah jangan khawatir. Ada aku dan mamaku. Nanti juga aku mengajak Nina.
Umar        : Adik kau yang menggemaskan itu? Wah, terdengar menyenangkan, Dan.
Sarah        : Jadi, kita akan naik pesawat? Wah, menyenangkan. Liburan ke Banda Aceh saja rasanya jarang. Aku mau sekali, Dan. (tersenyum lebar)
Daniel      : Kalau Umar?
Umar        : Ah, kau ini dan. Macam mana pula kami akan menolak. (sambil mengibas-ibaskan topi seragamnya)
Daniel      : Oke. Kau Abdul? (menatap Abdul)
Abdul       : (menelan ludah) Hah, kau ini nak menyogokku agar aku mau berteman dengan kau?
Umar        : Abdul, sudahlah. Jangan kau teruskan sikap kekanak-kanakan kau ini.
Abdul       : Jangan belagak dewasa. Kita ini sama-sama masih kelas 5 SD.
Sarah        : sudahlah, Daniel kan berniat baik.
Abdul       : Jangan keburu senang kau, sarah. Memangnya mamak kau akan mengizinkan? Kalau kau ikut Daniel, siapa yang akan mencari kayu bakar di hutan? (dengan ekspresi penuh kemenangan)
Sarah        : Ah benar juga (sambil menepuk jidat). Mamak pasti melarangku.
Daniel      : Jangan khawatir, Sarah. Mamaku yang akan berbicara pada mamak kau.
Ibu Daniel : Iya, saya yang akan bicara pada mamak kalian semua. Termasuk kau Abdul. Karena Mak cik takut, kau tak mau berteman dengan Daniel. (sambil mengoyak rambut keriting Abdul, menggoda)
Daniel      : Semua sudah beres. Jadi kalian mau ikut?
Sarah dan Umar                : pastilah. (mengangguk senang)
Daniel      : Abdul?
Abdul       : baiklah, kalau kalian memaksa. (berusaha menyembunyikan kebahagiaan)
Scene 2 (Villa Daniel)
                Setelah melewati perjalanan berjam-jam, akhirnya mereka sampai di villa pribadi milik keluarga Daniel yang terletak di Lembang, Bandung. Villa itu sengaja dibangun jauh dari kota. Untuk ke rumah penduduk sekitar saja, jaraknya 6 kilometer. Di sekitar villa, hanya ada jalan setapak memanjang, ladang bunga matahari dan satu bangunan yang menjulang tinggi sekitar 500 meter dari Villa.
Ibu Daniel : Selamat datang di villa keluarga Daniel! (membuka pintu utama)
Sarah        : Waaaah, besar sekali villa ini, Dan. (Melihat seisi villa)
Umar        : Udara disini segar sekali. Lihatlah, di luar sana penuh dengan ladang bunga matahari. (menunjuk ke arah jendela)
Abdul       : Apanya yang indah, kita ini datang dari kampung malah liburan ke kampung jua. Ku kira kita akan melihat banyak gedung tinggi disini. Ternyata hanya sawah yang terlihat. Dari kampung ke kampung. (mengerucutkan bibirnya)
Daniel      : Iya, villa ini memang sengaja dibangun jauh dari kehidupan kota. Kita ingin mencari ketenangan.
Umar        : Tak ada rumah lagi di sekitar sini? (menaruh Tas ranselnya di sebelah perapian)
Daniel      : Ada, sih. Kau lihat bangunan itu, yang menaranya menjulang tinggi (menunjuk ke arah bangunan yang terlihat dari jendela). Itu satu-satunya bangunan selain villa ini yang ada disini. Sayangnya, bangunan itu tak bertuan. Kata mama, bangunan itu angker.
Abdul       : Angker apanya? Lihat saja. Itu hanya sebuah bangunan. Penakut kalian ini.
Sarah        : Jangan banyak cakap kau, Abdul. Lagak kau macam pahlawan saja. Padahal naik pesawat saja kepala kau pening(menahan tawa).  
Abdul       : Sarah! Beraninya kau.. (membelalakkan mata)
Ibu Daniel : Hei, sudah sudah. Abdul cepat minum obat kau. Mak Cik takut kalau kau jatuh sakit. Oh iya, Abdul, Daniel dan Umar, kamar kalian ada di atas, di sebelah ruang keluarga. Sedangkan Sarah, kamu tidur sama Mak Cik dan Nina ya. Nampaknya Nina tak mau pisah denganmu. Dia sangat menyukaimu.
Nina          : ayo ayo kak, ku tunjukkan kamarnya. (menarik-narik rok panjang Sarah)
Ibu Daniel : sebaiknya kalaian segera mandi lalu beristirahat. Kalian pasti capek. Terutama kau Abdul. Kau butuh istirahat. (Mengusap debu yang ada di perabot villa)
Daniel      : Ayo kawan, kita mandi lalu bermain di ladang bunga matahari. Boleh kan ma? (mendekati mamanya) Lagipula, Abdul sudah terlihat sehat. Buktinya dia sudah bisa mengomel.
Ibu Daniel : (menggelengkan kepala) Baiklah terserah kalian saja. Toh ini liburan kalian. eits, tapi ingat! Jangan sekali-kali dekat-dekat dengan bangunan itu. (menunjuk bangunan tak bertuan)
Semuanya : Siap, laksanakan!
Scene 3 (Ladang Bunga Matahari)
Ladang bunga matahari membentang luas berhektar-hektar. Sejauh mata memandang, yang telihat hanya warna kuning menyegarkan mata. Hanya bangunan tua tak bertuan itu yang bercat Abu-abu diantara bunga matahari yang berwarna kuning. Daniel dan kawan-kawan terlihat sedang menghabiskan sore dengan bermain-main di ladang bunga matahari.
Sarah        : Jangan lari-lari, Nina. Pelan-pelan! Kau bisa jatuh tersungkur. (kerepotan mengikuti langkah Nina)
Nina          : Cepat Kak Sarah. Ayo kita mengumpulkan bunga matahari. (sambil terus berlari)
Daniel      : Sar, makasi banyak ya. Kamu jadi repot gara-gara Nina.
Sarah        : Tak apa lah. Nina kan adik kau, adik kawanku. Berarti Nina adik aku juga. Memang adik kau menggemaskan sekali. Aku tak bosan bermain dengannya. (tersenyum)
Daniel      : kau baik sekali, Sarah. Terima kasih ya.
Umar        : Daniel (memanggil Daniel)
(Daniel menoleh, tapi ada sesuatu menimpuk kepalanya)
Daniel      : Woi, Umar. Berani sekali kau kau menimpukku dengan batang ini. sakit tau! (memegang kepalanya. Ia pun berlari untuk membalas Umar)
 (Sementara Sarah dan Nina mengumpulkan bunga matahari, Daniel dan Umar bermain kejar-kejaran ditengah bunga matahari yang tumbuh tinggi. Sedangkan Abdul, hanya duduk di tepi ladang dengan muka masam)
Abdul       : (monolog) sangat sangat membosankan. Apa yang nak aku lakukan disini. Semuanya Cuma ladang bunga matahari. Aku kan laki-laki, mana suka pada bunga?
Umar        : (melambaikan tangan) Woi, Abdul. Cepat sini. Kenapa kau malah termenung disana?
Abdul       : Buat apa aku kesana. Dasar membosankan.
Nina          : Kak Abdul, ayo ikut Nina mengumpulkan bunga matahari!
Abdul       : Buat apa? Macam orang kurang kerjaan saja. Tak, aku tak mau. (Acuh)
Nina          : Ayo, kak! (menarik-narik celana Abdul)
Abdul       : Ah, banyak cakap kamu ini. dasar anak ingusan. Sana ambil sendiri. Macam orang tua saja. kamu itu masih kecil. Masih 1 SD. Aku sudah kelas 5. Aku sudah dewasa. Jangan banyak cakap! Atau ku cubit kamu!
Sarah        : Aih, Abdul. Kenapa pula kau malah bicara pakai aku kamu macam orang kota?
Abdul       : Sar, kita ini di Jakarta. Mana ada kau. Adanya kamu, aku, gue, elu.
Daniel      : Ini Bandung, Abdul. Bukan Jakarta. Lebih tepatnya Lembang.
Sarah        : Stop lah pakai kata kamu. Geli aku mendengarnya. (terkikik)
Abdul       : Kita ini sudah bukan di Aceh, kawan. Kita di kota besar. Bandung bukan Jakarta.
Umar        : Alamak, bicaramu sudah macam anak kota sungguhan Abdul.
Sarah        : Anak kota macam apa, Naik pesawat saja pening. (tertawa)
(semuanya tertawa mengingat kejadian konyol saat Abdul muntah di pesawat tadi.Tiba-tiba mereka melihat ada sekawan burung indah terbang dengan formasi yang mengagumkan)
Nina          : Kak, burung apa itu? (menunjuk ke atas)
Sarah        : Wah iya, bagus ya. Darimana datangnya?
Umar        : Mereka keluar dari menara itu (menunjuk menara bangunan tua tak bertuan, satu-satunya bangunan selain villa Daniel)
(semua mendongak)
Abdul       : Itu burung Rajawali. (meyakinkan)
Umar        : Rajawali? Ngawur kau, Abdul.
Abdul       : Iye. tengok saja bulunya. Elok sangat. Kata mamakku, burung yang berbulu elok adalah burung rajawali. Kau tak percaya ucapan Mamakku? Asal kau tau Umar, mamakku adalah bunga desa sewaktu muda. Selain cantik parasnya, ia juga siswi paling pintar.
Daniel      : Iya, tapi mana mungkin ada burung rajawali disini. Burung rajawali adalah burung yang dilindungi pemerintah. Mana mungkin dibiarkan berkeliaran. Lagipula, ukuran burung-burung itu terlalu kecil untuk disebut rajawali.
Abdul       : Alah, tak usah sok pintar kau, Daniel. Kalau kau tak percaya, ayo kita kesana. Ke asal muasal burung itu keluar.
Umar        : Tapi mamaknya Daniel sudah melarang kita kesana, Dul.
Abdul       : Alah, kita kan Cuma masuk sebentar untuk menengok sarang burung rajawali.
Umar        : Tetap saja tak boleh. Iya kan, Dan?
(Daniel hanya menunduk)
Abdul       : Sudah kuduga, kau orang baik, Dan! (tersenyum penuh kemenangan)
Daniel      : Oke, kita kesana. Aku juga tak nyaman melihat Abdul bosan di tepi ladang. Tapi ingat, hanya untuk melihat sarang burung yang kau bilang rajawali tadi. Setelah itu langsung keluar dan pulang. Setuju?
Abdul       : Setuju (mengacungkan kedua jempolnya).
Sarah        : Dasar anak lelaki memang sulit dimengerti. Sudahlah, aku ikut saja.(menghampiri Nina) Ayo Nina, kakak gendong!
(Mereka melewati jalan setapak sempit menuju bangunan tak bertuan itu)
Daniel      : (menengok ke belakang) Umar, kau tak mau ikut?
Umar        : (ragu) Iye lah. Tunggu aku! Cepat kali langkah kau ni.

Scene 4 (di dalam bangunan Tua tak bertuan)
Sungguh di luar dugaan, didalam bangunan itu sangat gelap. Tak ada lampu sama sekali. Bangunan itu memang megah tapi sudah sangat tua. Coraknya menunjukkan bahwa ia adalah peninggalan belanda, dengan langit-langit yang tinggi dan banyak pintu kembar berjajar-jajar. Lantainya juga dari keramik bermotif yang terlihat mahal dimasanya. Sayang, semuanya sudah usang tertutup debu. Hanya kesan angker yang tertinggal didalamnya.
Nina          : Kak Sarah, gelap sekali. Nina takut. (memegang erat tangan Sarah)
Sarah        : Janganlah kau takut. Ada kak Sarah disamping kau. Mengerti? (mengelus rambut Nina). Hei, mau kemana kita ini? memangnya kau bisa melihat jalan. Disini terlalu gelap.
Umar        : Benar. Bukankah kita sudah lama masuk ke dalam bangunan ini. Kau bilang tadi, kita hanya akan mencari sarang burung rajawali saja dan langsung pulang.(menoleh ke arah Nina). Kasihan kali si Nina. Dia ketakutan.
Abdul       : Diam kalian. Penakut kali kalian ini. Tinggal sedikit lagi. Asalkan kita menemukan tangga menuju atas, kita akan langsung menemukan sarang burung rajawali yang elok nian itu.
Umar        : Bukankah kita bisa tersesat di dalam bangunan ini? lihat saja, bangunan ini sangat luas. Banyak pintu-pintu dan lorong-lorong. Bagaimana kalau kita tak bisa menemukan jalan kita masuk tadi, Dan? (cemas)
Abdul       : Sabarlah, sikit. Kita sudah mau sampai.
Umar        : Aku tanya pada Daniel, Dul. Bukan kau. (nadanya sedikit meninggi)
Daniel      : Kita teruskan perjalanan. (tanpa menoleh sedikit pun)
(Mereka tetap melanjutkan perjalanan. Bahkan sekalipun kaki Nina tanpa sengaja terkena pecahan keramik di lantai hingga berdarah. Mereka tetap memutuskan untuk berjalan.)
(Beberapa jam kemudian)
Umar        : Dan, kau sadar tak? Kita sudah melewati jalan ini berkali-kali. Itu artinya kita daritadi berputar-putar di bangunan ini.
Abdul       : Mana mungkin kita lewat jalan yang sama berkali-kali? Bodoh kau ini.
Umar        : Dul, kau lihat lampion elok itu. (menunjuk ke langit-langit bangunan). Kita sudah melewatinya lebih dari 4 kali. Lalu kau ingat saat kaki Nina terluka karena pecahan keramik tadi, kita sudah melewati bekas darah Nina lebih dari 4 kali juga.
Abdul       : (berpikir sejenak) Mungkin itu lampion yang berbeda, Umar.
Umar        : Lalu darah itu? Darah orang yang berbeda pula? Kau pikir ada berapa orang didalam bangunan ini, Dul? (melotot)
Abdul       : Iya, tak usah melotot macam itu. Seram kali kau hari ini, Umar.
Umar        : Dan, adik kau tengah kesakitan. Kita tengah tersesat. Jangan anggap ini hal remeh.
Daniel      : iya sepertinya kita tersesat. Benar katamu tadi. Kita hanya berputar-putar dalam bangunan ini. Menurutku, bangunan ini berisi lorong memutar mengelilingi bangunan dengan labirin-labirin membingungkan. Kita semakin bingung dengan bayaknya pintu berjajar bercorak sama sepanjang perjalanan. Belum lagi tak ada cahaya disini.
Sarah        : Jadi kita tersesat? Kalau begitu kita mencari jalan kita masuk tadi saja. Apa sulitnya mengingat jalan masuk. Iya tak?
Daniel      : Tak bisa, Sar. Kita sudah melewati jalan ini berkali-kali. Itu artinya, jika kita mencari jalan kita masuk tadi, kita harus memutar dengan arah sebaliknya. Hasilnya tetap saja kita akan memutari bangunan ini.
Umar        : Tapi mana mungkin ada orang membuat bangunan yang didalamnya hanya ada jalan memutar?
Daniel      : Kurasa itu bukan kebetulan. Bangunan ini adalah bangunan tua. Mungkin sejak beratus tahun yang lalu. Saat itu, tipe bangunan megah dengan jalan memutar dan pintu berjajar memang sedang mode. Bagi kaum Belanda kuno, rumah dengan labirin-labirin sangat menguntungkan mereka bila tiba-tiba ada serangan mendadak dari sekutu.
Sarah        : Tapi pasti ada jalan keluar kan? (mulai ketakutan)
Daniel      : Tentu saja ada, Sarah. Hanya saja, tidak ada cahaya disini. Kita tidak bisa melihat apa-apa. Hanya remang-remang. Apalagi sepertinya diluar, hari sudah mulai gelap.
Umar        : Lalu apa yang harus kita lakukan?
Daniel      : Entahlah, aku tak yakin kita bisa keluar dari sini sebelum pagi. Tapi aku juga tak yakin apakah kita bisa bertahan disini semalaman. Sepertinya tempat ini tidak aman.
Abdul       : Ah, ribut kalian! Dasar penakut! Apa susahnya keluar dari bangunan sialan ini. Sarah, Umar, kenapa kalian termakan omongan sok pandai dari Daniel? Kau lupa, dia hanyalah anak kota tukang dusta. Jangan kau percaya begitu saja. Macam mana kita tersesat dalam bangunan ini. Sialan kau!
Umar        : hei, jangan teriak. Nina bisa bangun mendengar suaramu.
Abdul       : Biar. Kenapa pula kita membawa anak ingusan itu. Hanya merepotkan. (berteriak)
Umar        : Abdul! Keterlaluan kau! (ikut berteriak)
Abdul       : (menoleh ke arah Daniel) Apa kau? Senang setelah merebut kawan-kawanku dengan kepandaianmu. Kau mengajak mereka berlibur agar mereka senang berteman denganmu kan? picik kali kau ni. (berjalan mundur). Aku malu punya teman seperti kau. Tak pernah sebelumnya akk (terperosok) Woaaaaaah.
(Jbruak)
Daniel      : Abdul! (teriak khawatir lalu menengok kelubang tempat Abdul terjerembap)
Umar        : Abduuuul? Kau tak ape? (merasa bersalah)
Abdul       : hwaa, sakitnya pantatku. Apa-apaan ini, gara-gara kalian aku jatuh tersungkur. Selalu saja begitu. Selalu aku yang dirugikan. Terjatuh, pening, melamun sendirian di tepi ladang. Semuanya aku. Aku tak mengerti kenapa harus aku? (mengomel tanpa henti)
Sarah        : Ah, dia sudah bisa mengomel. Berarti dia tak ape. Syukurlah.
Abdul       : Sudah, tak usah pedulikan aku!
Daniel      : Ya sudahlah, kalau memang dia tak ingin kita kesana. Kita mencari jalan sendiri saja. Kita tinggalkan dia didalam.
Abdul       : Jangan Woi jangan! Tak setia kawan kalian! Kita masuk bersama maka harus keluar bersama pula!
Umar        : Dia memang suka gengsi ?(berbisik pada daniel)
Daniel      : Kalau begitu, kau tunggu disana. Aku melihat ada tali. Aku akan mengambilnya lalu menarikmu ke atas. Paham?
Abdul       : ha? Tali? Apa tak ada cara lain? Bodoh kali kau. Mana mungkin berhasil pakai tali. Tubuhku ini gendut. Tak mungkin tubuh kecil macam kalian bisa menarik tubuhku yang kekar ini. Jangan meremehkanku ya, aku ini kekar sangat. (mengomel lagi dan lagi)
Daniel      : Ya sudah kalau tidak mau. Ayo kita pergi.
Abdul       : He, jangan-jangan. Bukannya aku takut, aku hanya khawatir kalian tidak bisa menemukan jalan keluar tanpa aku.
Daniel      : kau benar, Umar. Dia memang suka gengsi. (sengaja mengeraskan suara)
Abdul       : Hei bicara apa kau barusan?
Daniel      : Diam! (berteriak) Tunggu saja bantuan dari kami dan jangan banyak bicara! sekali kau membuka mulut, tali ini ku buang jauh-jauh. Mengerti?
(Daniel dan Umar pun menurunkan tali dan menariknya. Namun karena tubuh Abdul jauh lebih besar daripada mereka, Sarah pun membantu mereka. Sedangkan Nina memeluk kakinya. Sialnya, bukan malah mereka yang menarik Abdul ke atas. Tapi berat badan Abdul yang menarik mereka jatuh ke bawah juga.)
Scene 5 (Ruang bawah tanah)
Mereka semua terperosok ke dalam lubang hingga masuk ke dalam sebuah ruangan bawah tananh yang sangat luas. Sama seperti semua ruangan di bangunan ini, ruangan ini juga kotor, gelap, dan banyak pintu kembar berjajar. Bedanya, dalam ruangan ini terdapat beberapa meja dan peralatan aneh, serta beberapa lemari berjajar.
Sarah        : Ah, sakitnya. (memijat-mijat bahunya)
Umar        : Kau Tak ape, Sarah? Untung Nina jatuh di atasku. Jadi dia tak kena kerasnya lantai ni.
Sarah        : Iya, tapi kau benar tak ape, Nina?
Nina          : hiks. Hiks. Tapi kakiku masih sakit. (memegang kakinya dan air matanya mengalir deras)
Daniel      : Sayang, tak apa. Sini kakak ikat pakai ini ya (membawa sobekan kain bajunya). Nanti darahnya akan berhenti. Kalau darahnya sudah berhenti, berarti sudah nggak sakit. Ngerti?
(Nina mengangguk. Daniel segera mengikat luka Nina dengan hati-hati agar Nina tak merasa sakit. Lalu mereka melihat sekeliling. Kecuali Abdul. Abdul sedari tadi hanya berdiam duduk sambil merangkul lututnya)
Umar        : Mesin apa ini, Dan? (sambil memegang mesin logam besar itu)
Daniel      : Entahlah. Tapi dilihat dari bahannya, ini bukan mesin tua. Mana mungkin pada masa Belanda sudah ada mesin canggih begini (mengelap mesin). Juga tak ada debu disini.
(Mereka kembali melihat-lihat)
Sarah        : (Teriak) Kawan, kemari. Cepat! (melambaikan tangan)
Daniel      : Apa ini yang membuatmu teriak? (sambil menunjuk batang rokok yang berserakan dibawah meja)
Sarah        : Iya. Bukankah bangunan ini tak bertuan, Dan? (bingung)
Umar        : Harusnya tak mungkin ada rokok batangan macam ini pada masa Belanda. Lihatlah, Dan. Rokok ini belum lama dibakar. Dia belum kering.
Daniel      : Kau benar Umar. Itu artinya, tidak hanya kita yang ada dibangunan ini.
Umar        : Berarti ada orang lain? (mengerutkan dahi)
Daniel      : Hush, jangan berisik. Ayo kita cari petunjuk lain. Mungkin orang ini ada hubungannya dengan mesin itu.(berjalan membelakangi Umar)
(Mereka terus berkeliling ruangan. Kali ini, mereka menemukan lemari paling besar diantara lemari-lemari kembar lain yang berjajar)
Umar        : Ayo, bukalah, Dan! (setengah berbisik)
 (Begitu dibuka, lemari itu penuh dengan puluhan bendel uang ratusan ribu)
Abdul       : (Menyela dari kejauhan) Apakah itu harta karun? Jangan-jangan tempat ini berisi harta karun? (berjalan mendekat)
Sarah        : Alamak, macam mana ada uang sebanyak ini? apa aku mimpi? (mengucek mata)
Umar        : Dan, kau tak merasa aneh. Siapa yang menaruh uang sebanyak ini dalam bangunan macam ni? Apa tujuannya?
Daniel      : Bukan, Umar. (berpikir sejenak) Ini bukan uang asli. Ini uang palsu.
Semuanya : Apa? (terkejut)
Daniel      : Iya, sekarang aku mengerti. Mesin itu adalah mesin pencetak uang palsu. Bekas rokok tadi adalah milik penjahat uang palsu ini. mereka sengaja memilih bangunan ini karena jauh dari keramaian. Dan mereka yakin tak mungkin ada orang yang akan masuk kesini.
Sarah        : Lalu, apa yang akan mereka lakukan kalau mereka mengetahui ada kita disini?
Daniel      : Entahlah. Mungkin membunuh kita. Apalagi kalau mereka tau, kita menemukan uang ini. (sambil menutup kembali pintu lemari)
(Semua kaget dengan penjelasan Daniel. Mereka semua takut)
Abdul       : Eh, ada suara derap kaki mendekat. (Abdul panik)
Umar        : Itu pasti mereka. Cepat sembunyi. (berseru)
Daniel      : Dibelakang lemari besar dekat pintu itu! (serunya sambil menarik Nina kedalam gendongannya)
Scene 6 (dibelakang lemari besar)          
Karena tak ada tempat lain untuk sembunyi, akhirnya Daniel Cs sembunyi di balik lemari yang berjajar. Namun karena ukurannya yang kecil, satu lemari hanya muat untuk dua orang saja bersembunyi dibelakangnya. Dengan terburu-buru, Sarah dan Umar bersembunyi di lemari pertama. Sedangkan Daniel terpaksa menitipkan Nina bersama Abdul karena tergesa-gesa.
(Dari balik lemari tersebut, mereka melihat dua pria dengan kumis tebal masuk ke dalam ruangan melalui salah satu pintu berjajar dalam ruangan itu, yaitu pintu paling ujung)
Pria 2        : Cepat, ambilkan aku minum! (duduk di kursi)
Pria 1        : (sedang menyalakan lentera) Jangan Bos. Minuman kita tinggal 2 botol. Lebih baik kita minum tengah malam nanti. Kita masih harus mencetak beberapa bendel lagi sebelum tengah malam. Jadi kita tak boleh mabuk.
Pria 2        : Kau benar. Kalau begitu, ambilkan rokokku!
Pria 1        : Eh, kenapa berantakan begini (menyadari ada sesuatu yang ganjil)
Pria 2        : Kenapa?(Mencari apa yang dilihat Pria 1)
Pria 1        : Ah tidak apa-apa, Bos (menggeleng). Oh iya Bos, mana pistolmu? Pelurunya habis kan? Sini ku isi ulang.
Pria 2        : Benar, peluruku hampir saja terbuang percuma. Untung akhirnya bisa menembus kepala pria itu.
(Daeniel Cs menelan Ludah mendengar kata ‘pistol’)
Nina          : Hiks, Nina Takut.
Abdul       : Aih, kenapa pula kau tadi bisa ada disebelahku. Sana-sana. Harusnya kau bersama yang lain. Sudah diam! Kenapa malah makin keras tangisan kau? (bingung)
 (Abdul memeluk Nina dan menutup telinganya agar tak mendengar percakapan dua pria sadis tersebut, Daniel melihat dari tempatnya bersembunyi. Senyum Daniel melebar menyadari apa yang dilakukan Abdul)
Suara dua pria itu sudah tak terdengar. Daniel mengintip dari celah-celah yang memungkinkan. Dua pria itu berjalan menuju pintu paling ujung lalu menghilang.
Daniel      : (setengah berbisik) Kau lihat tadi? Dua pria itu datang dari pintu itu dan sekarang mereka juga keluar lewat pintu itu. Berarti di dalam pintu itu pasti ada suatu akses untuk keluar. Mungkin ada tangga rahasia di dalam situ.
Umar        : Berarti kita harus masuk kesana juga Dan. Tapi apakah sudah aman?
Daniel      : Sepertinya sudah. Ayo, cepat (berdiri).  Umar, kau memimpin barisan. Aku akan menjaga dari belakang. Sarah, kau jangan jauh-jauh dari Umar. Abdul, terserah kau saja kau mau bagaimana. Nina, sini kakak gendong! (mendekati Nina)
Abdul       : Biar aku saja yang menggendongnya. (dengan sedikit gengsi)
Sarah        : Kau salah minum obat? (dengan muka heran)
Abdul       : Iya biar aku saja. Daniel kan harus melindungi kita dari belakang. Umar juga melindungi kita dari depan. Biar aku yang menggendong Nina.
(Sarah, Daniel dan Umar hanya melongok. Tidak mempercayai apa yang dikatakan Abdul)
Abdul       : Aku kan kekar. (dengan muka sombongnya)
Sarah        : Ini baru Abdul. Sombongnya minta ampun. (sedikit bergumam)
Mereka berjalan berbaris menuju pintu paling ujung. Ketika pintu itu dibuka. Terlihat tangga tua berdebu menuju ke atas.  Mereka segera naik secepat mungkin. Sampailah mereka di ujung tangga. Terlihat ada pintu yang selalu sama dengan semua bentuk pintu yang ada di bangunan itu. Ketika dibuka, terlihatlah jalan yang mereka lewati tadi saat mereka tersesat mengitari bangunan megah itu.
(Antara tangga dan ruang utama bangunan dalam pementasan ditandai dengan sekat di tengah panggung)
Sarah        : Wah, jalan ini. Kita sudah menemukan Jalan ini lagi, Dan! Kita bisa pulang. Kita bisa pulang. (tersenyum riang)
Umar        : Jangan senang dulu, Sar. Kau lupa, tadi kita berjam-jam tersesat di bangunan ini. memangnya kali ini kita bisa menemukan jalan keluar?
Daniel      : Kau benar Umar, satu-satunya jalan adalah kita harus mencari jalan rahasia. Maksudku, seperti jalan menuju tangga barusan. Tangga tadi berada didalam salah satu pintu yang ada kan? Pasti disalah satu pintu itu ada akses untuk keluar. Ini adalah bangunan kuno Belanda, pasti banyak jalan rahasia yang sengaja dibuat utnuk menghindari serangan mendadak dari sekutu.
Umar        : Berarti kita harus membuka pintu ini satu-satu? Pintu itu sangat banyak Dan. Aku yakin lebih dari 30 pintu. (memandang pintu-pintu itu)
Daniel      : ya, apa boleh buat. Ayo cepat laksanakan,  tapi hati-hati. Tetap dalam barisan!
(Saat mereka tengah membuka pintu satu-persatu. Tiba-tiba terdengar suara derap kaki. Karena panik, langsung saja mereka masuk ke dalam pintu terdekat)
Scene 7 (Ruangan 5x6 meter)
Dibalik pintu itu, ternyata hanya ada ruang kosong. Ruangan itu tidak luas dibanding ruangan-ruangan sebelumnya, mungkin hanya 5x6 meter.  Di pojok ruangan, ada lemari tua dengan ukuran cukup besar.
 (Terdengar percakapan dua pria itu dari luar)
Pria 1        : Woi, siapa itu? (sambil sedikit berlari ke arah Daniel Cs) Kau melihatnya, bos? Ada anak kecil didalam bangunan ini. Aku sudah curiga sedari tadi saat melihat meja di ruang bawah tanah berantakan.
Pria 2        : Apa kau bilang? Berarti mereka sudah masuk ruangan rahasia kita? (Terkejut) Tidak bisa dibiarkan. Mereka tidak boleh lolos. Kalau mereka lolos, mereka pasti akan melaporkan tindak kriminalitas kita. (sambil berkacak pinggang)
Pria 1        : Tapi sepertinya mereka hanya anak ingusan. Mereka tak akan mengerti apa yang sudah mereka lihat.
Pria 2        : Jangan meremehkan mereka. Mereka bisa menjadi sumber bahaya.  Apa susahnya membunuh anak kecil seperti mereka?
Pria 1        : Tapi bos, seperti yang kita lihat tadi. Mereka bukan Cuma satu dua anak. Kurasa, mereka lebih dari tiga anak.
Pria 2        : lalu kenapa? Bukankah pistolku baru saja kau isi penuh dengan peluru? (tersenyum licik)
(pria 1 mengangguk)
Pria 2        : (teriak) Dengar anak-anak ingusan!  Paman bukan orang jahat, paman hanya tak suka ada yang berani menyentuh barang-barang paman. Jadi sebelum paman marah dan mencubit kalian, lebih baik kalian keluar! (berteriak dari balik pintu)
(Daniel Cs menggigil ketakutan. Umar, Abdul, Sarah dan Nina hanya menoleh pada Daniel, memastikan keputusan apa yang harus mereka ambil)
Daniel      : (berbisik) Tetap ditempat! Jangan bersuara! Mereka tidak mungkin membiarkan kita lolos.
(Umar, Sarah, dan Abdul mengangguk setuju)
Pria 2        : Baiklah, rupanya kalian mengajak paman bermain ya? Kalian menyukai petak umpet, bukan? Baik, paman akan melayani kalian. Sembunyilah! (Berteriak keras). Paman akan mencari kalian. Dan jika kalian tertangkap, paman akan memberikan kalian hukuman. Kalian tau apa hukumannya? (Melepas tembakan ke langit-langit bangunan)
(Suara tembakan terdengar keras di telingan Daniel Cs. Mereka semakin takut. Nina tak henti-hentinya menangis)
Umar        : Dan, kita tak bisa diam diri disini terus. Kita harus mencari jalan keluar yang pasti ada di salah satu pintu. Mungkin memang berbahaya, tapi apa lagi yang bisa kita lakukan?
Daniel      : Tidak mungkin, Umar. Setelah mereka tau ada anak SD didalam bangunan ini, mereka pasti akan menutup semua akses ke luar. Mereka penjahat, Mar. Pasti pandai dan licik. Kau tak mendengar suara mereka lagi kan dibalik pintu? Mereka pasti sekarang tengah memastikan semua pintu sudah terkunci.
Sarah        : (menangis) jadi, jad... i.. kita akan mati?
(Tak ada yang menjawab. Sarah dan Nina tak berhenti menangis. Daniel dan Umar terlihat frustasi berpikir apa langkah selanjutnya. Sedangkan Abdul hanya melamun sambil menunduk, entrah apa yang dipikirkan)
Abdul       : Kawan,
(semua menoleh pada suara parau Abdul)
Abdul       : Ak... Ak.. Aku.. Aku.. (menggigit bibir)
Umar        : Kau kenapa, Dul? Kau sakit? Kepala kau pening? (mendekati Abdul, khawatir)
Abdul       : (Menggeleng) Bukan itu. Aku, ak.. aku.. sebenarnya, aku, emm..  kurasa.. seharusnya.. (menarik nafas panjang lalu mengehembuskannya kencang-kencang). Aku nak minta maaf pada kalian semua. Aku tau, sedari tadi aku hanya merepotkan. Aku kebanyakan cakap yang mungkin menyinggung hati kalian. Terutama kau Daniel, aku tak bermaksud menyakitimu Dan.
Daniel      : Sudahlah, Dul. Sudah ku maafkan sejak pertama kali kau mengatakannya. (tersenyum wibawa).
Abdul       : Terima kasih, Dan. Kau memang pandai, bukan sok pandai. Jangan lagi kau ingat apa yang telah ku cakap tadi.
Umar        : Dul, kau sendiri yang barusan mengingatkannya apa yang telah kau cakap. (terkikik)
(sayangnya yang bisa tertawa hanya Umar. Sedangkan Nina dan Sarah masih termenung dengan muka penuh ketakutan)
Abdul       :  (setelah melihat ekspresi sedih Nina dan Sarah) Aku...memang salahku. Andai saja aku tak mengajak kalian masuk ke dalam bangunan ini, kita pasti sudah pulang sekarang. Tidur di kasur yang empuk di villa kau, Nina tak mungkin terluka seperti sekarang dan mama Kau, pasti sekarang tengah pusing mencari dimana kita.
Daniel      : Mama! (takjub, berdiri mendekati Abdul), kau benar abdul, mana mungkin mama tak mecari kita kalau kita belum pulang selarut ini. Mama pasti sudah mencari kita di ladang matahari. Karena tak ada, mama pasti mencari di tempat-tempat yang mungkin untuk kita kunjungi. Apalagi kalau bukan bangunan ini?
(Seketika itu, wajah mereka semua langsung cerah, kecuali Umar)
Umar        : Tapi Dan. Bukankah bahaya kalau mama kau masuk sendiri ke tempat seperti ini? dan justru aku berpikir.. (ragu untuk meneruskan ucapannya)
Daniel      : (menunduk) Kau benar Umar. Justru bisa saja penjahat itu sudah membunuh ibu sebelum membunuh kita. Pasti mereka tau, darimana lagi kita tinggal kalau bukan di villa itu. Anak-anak seumuran kita dibiarkan bermain di Ladang sendirian, pastilah rumahnya tak jauh darisini. (ucapannya semakin lirih dan bibirnya bergetar menahan tangis)
Tak ada lagi Daniel si cerdas, kuat dan penentu keputusan. Kini Daniel juga ikut menangis. Umar pun mendekatinya, menepuk bahunya dan akhirnya ikut menangis. Sedangkan sarah dan Nina yang sudah berhenti menangis,mulai  menangis lagi dibuatnya. Namun tidak begitu bagi Abdul, Abdul hanya memandang mereka lalu mengepalkan kedua telapak tangannya.
Abdul       : Sudahlah, sekarang kita harus melindungi apa saja yang kita punya.(memandang Daniel)  Daniel, kau masih punya Nina. Maka lindungilah dia. Sarah, kau masih punya kawan-kawan kau, mereka semua akan melindungimu. Iya kan, Umar? Kau akan melindungi Sarah kan?
(Umar mengangguk sambil terisak)
Umar        : (sambil terisak) Kau salah Abdul, bukan hanya Sarah dan Nina yang akan aku lindungi. Aku dan Daniel juga akan melindungimu. (terisak lagi) Ah bukan, bukan kami yang melindungimu. Justru kau yang akan melindungi kamu. Kau kan Kekar, kuat dan berbadan besar. Jadi kau yang akan melindungi kami. Iya kan?
Abdul       : kau benar. Aku memang sangat kekar. (menunjukkan bahu kekarnya sambil terharu)
(Semua kini tertawa melihat tingkah Abdul)
Abdul       : Umar, Daniel, bantu aku menggeser lemari ini untuk menghalangi pintu. Sarah, Nina, kalian minggir. Cepat atau lambat mereka akan menggedor pintu ini (sambil berdiri)
(Mereka segera menjalankan apa yang diperintahkan Abdul sekalipun sebenarnya mereka terkejut dengan sikap Abdul. Tidak biasanya ia begitu bijaksana)
Sarah        : Kyaaaaaaaa (menjerit sambil berlari ke arah Nina. Nina pun ikut menjerit)
Daniel      : kenapa kau, Sar?
(Sarah menunjuk ke tempat bekas almari tadi)
Abdul       : Ah, itu kan Cuma katak. Kenapa kau takut pada katak. Tenang, dia tak akan berani mendekat. (berpikir sejenak) Tapi darimana datangnya katak itu?
Daniel      : Mungkin dari lubang itu (menunjuk lubang 50x50 cm di dinding yang sebelumnya tertutup lemari)
Umar        : Dan, itu bukan lubang biasa. (antusias) Tengoklah! Itu LORONG.
Daniel      : (mengerutkan kening) Maksud kau? (memicingkan mata sejenak, lalu melebarkan mata) Aku tau maksud kau. Katak itu tadi berada di lubang yang tertutup rapat oleh lemari. Tak mungkin kalau katak itu melewati celah antara dinding dan lemari hingga bisa masuk ke dalam lubang ini. celah antara lemari dan dinding terlalu sempit.
Abdul       : Jadi maksud kau, dia datang dari dalam lubang ini? tapi dimana ujung lubang ini?
Daniel      : Tepat sekali. Darimana lagi katak datang kalau bukan dari persawahan dekat sini. Pasti dia datang dari luar kan? Itu artinya, lubang ini pasti menuju ke luar bangunan.
Umar        : Tapi jangan senang dulu, kita kan tak tau seberapa panjangnya lorong ini dan? Kalau terlalu panjang, aku takut kita tak sanggup dan justru kehabisan nafas di tengah jalan.
(Semuanya hening. Memikirkan perkataan Umar. Daniel pun mendekati lorong itu. Kepalanya masuk ke dalam lorong)
Daniel      : (dengan mata berbinar) Umar, kesinilah! Cepat mendekat! (menarik lengan Umar untuk mendekat ke lorong) Masukkan kepala kau juga!
(Umar menurut, sedangkan yang lain hanya mendongak penuh rasa ingin tau)
Daniel      : Kau dengar apa itu? Suara angin, Umar. Itu artinya...
Umar        : Lorong ini memang menuju ke luar dan jaraknya dekat. (tersenyum lebar). Kita bisa pulang! Kita bisa pulang!
(Mereka pun berpelukan senang. Kecuali Abdul)
Daniel      : Ayo kita segera masuk lorong. Tetap pada barisan sebelumnya. Umar didepan. Oh iya, Aku boleh titip Nina lagi kan Abdul? karena aku harus berjaga-jaga di barisan paling belakang  (sambil menepuk bahu Abdul).
(Mereka pun masuk satu persatu. Tinggal tersisa dua orang, yaitu Abdul dan Daniel)
Daniel      : Dul, ayo cepat masuk.
Abdul       : Kawan, kalian melupakan satu hal (sedih). Kau kan tau, tubuhku ini kekar dan besar. Lorong ini terlalu sempit untukku. Sekalipun cukup, pasti sangat sulit bagiku untuk bergerak. Itu akan membuat kalian semakin lambat. Sudah tinggalkanlah saja aku disini, aku tak apa!
Umar        : Kita tak akan meninggalkan kau Abdul!
Daniel      : Umar, jangan berbicara dalam lorong itu! Suaramu menggema. Aku takut penjahat itu mendengarmu.
Abdul       : Kalian juga tak bisa lama-lama. Sebelum penjahat itu mendobrak pintu. Cepatlah.
Daniel      : Iya benar, cepatlah Umar. Bawa Sarah dan Nina keluar. Aku akan tetap di sini bersama Abdul. Ku titipkan Sarah dan Nina pada kau. Setelah kalian sampai di luar, kau tau kan apa yang harus kau lakukan?
Umar        : Tau dan, tapi macam mana kita sanggup meninggalkan kalian berdua disini. (bicara sepelan mungkin)
Daniel      : Kau bukan sekedar meninggalkan kami, Mar. Kau meninggalkan kami untuk menyelamatkan kami kan? Oleh karena itu, Cepatlah!
Andul       : Tunggu Umar! Jangan tinggalkan Daniel. (menoleh pada Daniel) Dan, kau tak perlu melakukan hal ini untukku.
Daniel      : Bukan untuk Kau, Dul. Tapi untuk kita semua. Untuk Umar, Sarah, Nina dan juga Mamak kau. Paham kau?
(Abdul mengangguk)
Daniel      : Umar, cepat jalan!
(Beberapa saat kemudian, masih didalam ruangan 5x6 meter tadi. Abdul dan Daniel terlihat sedang tegang dan khawatir. Mereka duduk bersebelahan, meringkuk di pojok ruangan sambil memeluk lutut mereka.)
Abdul       : Dan, menurut kau, apakah  mereka sampai ke villa dengan selamat? (sambil tetap menunduk)
Daniel      : Pasti. Karena ada Umar disana. (menepuk pundak Abdul)
Abdul       : Menurut kau, dimana penjahat itu? Bukankah aneh, tak ada sama sekali suara mereka. Mana mungkin mereka tertidur kan? Bukankah penjahat itu tidak tidur malam? (dengan polos)
Daniel      : Mungkin mereka sedang mencetak uang. Kau ingat tak, tadi waktu kita masih di ruang bawah tanah, mereka bilang mereka harus menyelesaikan satu bendel sebelum tengah malam, bukan? Mungkin sekarang mereka sedang lembur, apalagi tadi sempat terganggu oleh kita.
Abdul       : semoga saja iya. Aku tak habis pikir, kenap...
Pria 1        : (berteriak memotong pembicaraan Abdul dan Daniel) Anak-anak, saatnya menonton pertunjukan!Lihat apa yang paman bawa. (tertawa licik)
Abdul       : Dan, apa yang mereka lakukan? (bibir bergetar)
Pria 2        : Ayo cepat, buka pintunya! Pasti kuncinya adalah salah satu dari kunci itu. Jangan buang-buang waktu!
Pria 1        : Sabar, Bos! Ada banyak kunci, aku harus mencobanya satu-satu.
Abdul       : Dan, bagaimana ini? (panik)
Daniel      : Kau tenang dulu, Dul. Sekarang kita berdiri tepat di samping lemari. Karena saat pintu sudah berhasil mereka buka, pasti mereka akan mendorong lemari itu hingga terjatuh. (berbisik)
(Terdengar suara gagang pintu dibuka. Rupanya mereka telah berhasil membuka pintunya.)
Pria 1        : Sial, anak-anak ingusan ini memindahkan lemari ini kesini.
Pria 2        : Wah, kalian memang cerdas anak-anak. Paman suka permainan kalian. (Tersenyum sinis) Cepat dorong lemarinya!
(Bruuuuk. Lemari pun jatuh ke belakang. Akibatnya, debu-debu yang kian menumpuk di lantai berterbangan.)
Pria 1        : Uhk.. Uhk.. (batuk). Sial, aku tak bisa melihat apa-apa gara-gara debu ini. uhk.. uhk.. lain kali kita memang harus bersih-bersih bos.
(Daniel dan Abdul yang sudah bersiaga dengan menutup hidung mereka pun tak mau menyia-nyiakan kesempatan. Mereka berlari keluar sekuat tenaga.)
Pria 2        : Bodoh! Mereka kabur. Cepat kejar! (memukul kepala pria 1)
(Dua pria itupun berlari mengikuti mereka. Malangnya, Abdul terjatuh dan kaikanya terkilir.)
Daniel      : Abdul, ayo! (menarik tangan Abdul)
Abdul       : Kakiku terkilir, Dan! Kau cepat lari. Cepat. Tak ada waktu lagi. Jangan banyak cakap!
Daniel      : Tak bisa, Dul.
Pria 2        : Sudah puas bermain-main? (mengambil pistol dari celananya)
(Tubuh Daniel dan Abdul mematung. Kaki mereka rasanya membeku melihat pistol itu.)
Pria 2        : Ayo mendekat pada, Paman. Paman ingin mengenal kalian lebih dekat. (berjalan mendekat)
(Daniel dan Abdul berpegangan tangan. Bibir mereka sibuk berkomat-kamit memanjatkan do’a. Penjahat berkumis itu semakin dekat. Kini, pistol itu sudah di sodorkan ke arah Daniel dan Abdul. Namun, Tiba-tiba...)
Polisi         : Angkat tangan! (menyodorkan pisau)
(Beberapa polisi lain menyusul di belakangnya. Terdengar suara speaker dan baling-baling helikopter.)
Speaker  : Turunkan senjata kalian! Bangunan ini sudah dikepung!
(Dua lelaki itupun menurunkan senjatanya, disambut dengan borgol dari polisi. Beberapa polisi yang lain segera menghampiri Daniel dan Abdul danmembimbing mereka keluar.)
Di luar bangunan, ada banyak polisi berbaris dengan senjata lengkap dan posisi siaga. Selain itu juga ada helikopter, dengan beberapa polisis siaga di atasnya. Namun bukan mereka yang menarik perhatian Abdul dan Umar.
Daniel      : Mamaaaaa (menyeka air mata)
Abdul    : Sarah, Umar, Ninaaaaaa! (berlari menghampiri mereka dan memeluk mereka)               
Setelah kejadian pencarian sarang burung rajawali itu, Nina sempat dirawat di rumah sakit dan  Sarah hanya demam beberapa hari saja.  Sedangkan Abdul, Umar dan Daniel hanya trauma ringan. Beberapa hari kemudian, mereka kembali ke Aceh.                   
Scene 8 (Sekolah)
             Hari ini adalah hari pertama tahun ajaran baru. Daniel Cs sekarang kelas 6 Sd. Sedangkan Nina baru masuk SD tahun ini. Halaman sekolah terlihat ramai oleh anak-anak SD yang tengah bercengkrama, termasuk Daniel, Abdul, Umar, Sarah dan Nina.
Sarah     : Woi Abdul, bagaimana sisa liburan kau kemarin? (dengan nada menggoda)
Abdul    : apanya yang bagaimana, mamak tak henti-hantinya menyuruhku ke kebun. Kau tau tak, ternyata mamakku juga berbohong soal burung rajawali. Sebenarnya mamak tak pernah melihat burung rajawali. Dusta itu.
Daniel   : Kau tak boleh cakap macam itu, Dul. Kau harus menrut pada mamak kau. Kau lupa bagaimana nasib kita saat melanggar apa kata mamaku. Kita hampir dibunuh penjahat.
Abdul    : Tapi kan, penjahatnya sudah di penjara. Tak bisa lah ganggu kita lagi.
Umar     : Bukan penjahat itu yang akan membunuhmu, Dul. Tapi penjahat yang mengumpulkan anak kecil berbadan besar untuk di jual di luar Negeri.
Abdul    : Berbadan besar? Maksud kau, aku?
Sarah     : Siapa lagi yang punya perut macam gentong selain kau disini, Dul? Hahaha
Semuanya pun tertawa karena Abdul mengamuk. Abdul yang tak terima dibilang gendut, terus mengomel pada mereka. Omelannya pun berakhir saat bel berbunyi menandakan saatnya masuk kelas. Mereka pun berlari segera masuk ke dalam kelas dengan tawa yang lebar. Ya, tawa yang sempat mereka rindukan saat mereka jauh dari Aceh. Liburan kali ini bukan sekedar liburan biasa bagi mereka. Dari liburan kali ini, mereka yang masih polos  mulai mengerti tentang hidup, bersahabatan dan kedewasaan.



3 komentar:

  1. Maaf, numpang promosi...
    Tonton film kami ya, yg berjudul "Apa itu Sedekah". Film ini mengisahkan pendapat orang-orang mengenai sedekah. Film-film yg kami buat adalah film-film yg menjurus pada pendidikan karakter. Semoga dengan menonton film kami, anda fapat mengambil hikmah yg terbaik, aamiin...
    Bantu kami juga untuk : Like, Comment, Subscribe dan juga Share film kami yaa... Sesungguhnya, kami hanya ingin menebarkan kebaikan melalui film yg kami buat, terima kasih...
    https://youtu.be/tt2c1n7Ob44

    (Skenario saya, yg saya filmkan bersama [SH. PM Revolution's])

    BalasHapus
  2. Maaf, numpang promosi...
    Tonton film kami ya, yg berjudul "Apa itu Sedekah". Film ini mengisahkan pendapat orang-orang mengenai sedekah. Film-film yg kami buat adalah film-film yg menjurus pada pendidikan karakter. Semoga dengan menonton film kami, anda fapat mengambil hikmah yg terbaik, aamiin...
    Bantu kami juga untuk : Like, Comment, Subscribe dan juga Share film kami yaa... Sesungguhnya, kami hanya ingin menebarkan kebaikan melalui film yg kami buat, terima kasih...
    https://youtu.be/tt2c1n7Ob44

    (Skenario saya, yg saya filmkan bersama [SH. PM Revolution's])

    BalasHapus
  3. Bagus kak naskahnya, tapi kenapa gak update lagi blognya?…
    KuaronID , ApkLaku

    BalasHapus